Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Puisi Yang Usai di Baca

Kau puisi paling manis  yang pernah aku baca. Pada tanda jeda,, aku berdoa; Semoga kita tak binasa hingga akhir kata  Pada pertengahan tahun 2020 kemarin, aku menemukan seseorang yang begitu baik lakunya. Purnama terindah yang menggantung di antara bintang-gemintang, peneduh malam yang sebelumnya tak lagi pernah aku dapatkan. Meja-meja dan kursi yang mempertemukan kita dalam cerita panjang yang di saksikan debur ombak di tepi pantai. Lalu, senyumnya dan tawanya membingkai indah di lamunan.  Dari perbincangan hangat di warung kopi, tak 'ku kira akan berlanjut ke saling sapa di sosial media. saling tanya, mengutarakan rasa, juga berbagi cerita tentang pahitnya masalalu yang masih sering mengundang pilu. Akhirnya aku sadar bahwa aku dan dia pernah terjebak di manisnya masalalu yang sulit untuk di lupakan. Masalalu yang tersemat manis di ingatan; tentang seseorang yang pernah mengisi rongga hati, lalu pergi dan enggan untuk bisa bersatu kembali.  Dalam banyaknya cerita yang pernah di bagi, aku pun akhirnya jatuh hati, aku pikir dia pun  begitu. Kedekatan yang menumbuhkan perasaan yang tak lagi biasa, seolah kabar darinya menjadi begitu penting, tiap kegiatannya selalu aku tunggu di instastory yang Ia posting.  Dari sapa memulai sebuah cerita, meski aku sendiri belum begitu mengerti mengapa hati begitu cepat untuk berlabuh. Dalam kedekatan yang singkat, yang menimbulkan hasrat untuk memikat, aku pun mulai menulis sebuah buku untuknya, buku bertajuk "Yara, Untukmu Aku Menulis". Sebuah buku yang aku harap dapat sedikit mengalihkan pandangannya ke arahku, buku yang aku ingin setelah Ia baca seluruh isinya, hatinya akan berpihak kepadaku dan mulai melupakan lukanya di masalalu.   Semuanya berjalan lancar,  Dia seolah mengisyaratkan bahwa hatinya telah siap berpindah kepadaku.   Hari-hari berlalu, kedekatan semakin terjalin. Kini kesadaranku mutlak memutuskan bahwa dia milikku dan aku miliknya. Meski tanpa adanya pernyataan yang menyatakan begitu, namun aku yakin kami telah sama-sama merasa memiliki satu sama lain.   Beberapa bulan di jalani, mengenal satu sama lain. Saling bertanya kabar, dan mengabari satu sama lain. Hubungan yang akhirnya semakin menemui titik terang, saat kita sepakat untuk memperjelas hubungan dengan status "berpacaran" tepat pada tanggal 9 Oktober 2020 pukul 20.22 waktu Indonesia Bagian Barat. sebuah keputusan yang di ambil lewat pesan singkat Whatsapp karena raga terpisah laut dan samudra, dia di Ibu Kota sedang aku di suatu kota di Provinsi Kepulauan Riau.  Hubungan kami berjalan begitu mulus, tak ada pertengkaran yang berarti. aku semakin mencintainya, ku harap dia pun begitu. Sosok itu menjadi puncak harapan dimana mimpi-mimpiku akan ku perjuangkan, di jari manisnya aku harap akan melingkar sebuah cincin tanda ikatan dari sebuah pernikahan. Aku sangat-sangat merindukannya sebab meski kami telah menjalin hubungan yang manis namun belum pernah aku bertemu lagi dengannya, hanya suaranya yang bisa aku dengar lewat telepon di beberapa keheningan malam, juga hanya bisa melihat potret wajahnya yang tersimpan di galeri ponselku.   Sejauh ini dia bagaikan puisi yang tak pernah usai aku baca,  begitu indah dan menyebar banyak bahagia.  meski semakin lama rindu yang tak tertampung menjadi benalu dan amarah yang konyol.   Semakin hari rindu menumpuk, membebani pikiran saat-saat kita sama-sama di sibukkan dengan rutinitas pekerjaan, dan jam tidur yang tidak lagi sinkron. Tak bertemu dan jarang berkomunikasi; dari rindu-rindu yang sering mengusik sepi, cerita pun mulai mengurai banyak cemburu, kecurigaan yang tak menentu, dan keinginan yang tak berujung pada titik temu.  Dia yang selama ini ku kira  Akan tetap menjadi puisi yang tak berujung, Pun  akhirnya undur diri dengan kesedihan yang tak terbendung.  Akhirnya dari manisnya perjumpaan, dan beberapa kebahagiaan yang sempat terbagi, ternyata cerita tak sesuai rencana. Semua kesenangan itu kini hening, nama yang selalu muncul di notif whatsapp itupun perlahan menghilang, tak lagi saling berkabar, tak lagi saling bercerita apa adanya., tak lagi saling mengingatkan sholat dan tak ada yang minta di bangunkan di waktu subuh.   Usai dan Usang Ternyata akhirnya akan sama saja Hilang, lalu pulang ke rumah masing-masing Rumah yang sebelumnya ada "kita" Rumah kita masing-masing Rumahmu dan Rumahku, bukan lagi  Rumah Kita  Puisi yang aku kira tak akan berujung dari sosok itu, ternyata usai jua padahal belum habis tintaku untuk menulis, namun kertas putih untuk menulis cerita itu telah lebih dulu habis di bakar cemburu dan kebodohan yang tak menentu, pilu.  Puisi itu pun ternyata selesai terbaca, berakhir tanpa ada lagi tanda jeda. Ia berujung pada kata "Terimakasih" yang lirih, dan juga kata "Maaf" yang sedikit terdengar ramah,  namun bermakna; "Menyerah" dan "Sudah".  #MozaikRhe

Kau puisi paling manis 
yang pernah aku baca.
Pada tanda jeda,, aku berdoa;
Semoga kita tak binasa hingga akhir kata

Pada pertengahan tahun 2020 kemarin, aku menemukan seseorang yang begitu baik lakunya. Purnama terindah yang menggantung di antara bintang-gemintang, peneduh malam yang sebelumnya tak lagi pernah aku dapatkan. Meja-meja dan kursi yang mempertemukan kita dalam cerita panjang yang di saksikan debur ombak di tepi pantai. Lalu, senyumnya dan tawanya membingkai indah di lamunan.

Dari perbincangan hangat di warung kopi, tak 'ku kira akan berlanjut ke saling sapa di sosial media. saling tanya, mengutarakan rasa, juga berbagi cerita tentang pahitnya masalalu yang masih sering mengundang pilu. Akhirnya aku sadar bahwa aku dan dia pernah terjebak di manisnya masalalu yang sulit untuk di lupakan. Masalalu yang tersemat manis di ingatan; tentang seseorang yang pernah mengisi rongga hati, lalu pergi dan enggan untuk bisa bersatu kembali.

Dalam banyaknya cerita yang pernah di bagi, aku pun akhirnya jatuh hati, aku pikir dia pun  begitu. Kedekatan yang menumbuhkan perasaan yang tak lagi biasa, seolah kabar darinya menjadi begitu penting, tiap kegiatannya selalu aku tunggu di instastory yang Ia posting.  Dari sapa memulai sebuah cerita, meski aku sendiri belum begitu mengerti mengapa hati begitu cepat untuk berlabuh. Dalam kedekatan yang singkat, yang menimbulkan hasrat untuk memikat, aku pun mulai menulis sebuah buku untuknya, buku bertajuk "Yara, Untukmu Aku Menulis". Sebuah buku yang aku harap dapat sedikit mengalihkan pandangannya ke arahku, buku yang aku ingin setelah Ia baca seluruh isinya, hatinya akan berpihak kepadaku dan mulai melupakan lukanya di masalalu. 

Semuanya berjalan lancar, 
Dia seolah mengisyaratkan bahwa hatinya telah siap berpindah kepadaku. 

Hari-hari berlalu, kedekatan semakin terjalin. Kini kesadaranku mutlak memutuskan bahwa dia milikku dan aku miliknya. Meski tanpa adanya pernyataan yang menyatakan begitu, namun aku yakin kami telah sama-sama merasa memiliki satu sama lain. 

Beberapa bulan di jalani, mengenal satu sama lain. Saling bertanya kabar, dan mengabari satu sama lain. Hubungan yang akhirnya semakin menemui titik terang, saat kita sepakat untuk memperjelas hubungan dengan status "berpacaran" tepat pada tanggal 9 Oktober 2020 pukul 20.22 waktu Indonesia Bagian Barat. sebuah keputusan yang di ambil lewat pesan singkat Whatsapp karena raga terpisah laut dan samudra, dia di Ibu Kota sedang aku di suatu kota di Provinsi Kepulauan Riau.

Hubungan kami berjalan begitu mulus, tak ada pertengkaran yang berarti. aku semakin mencintainya, ku harap dia pun begitu. Sosok itu menjadi puncak harapan dimana mimpi-mimpiku akan ku perjuangkan, di jari manisnya aku harap akan melingkar sebuah cincin tanda ikatan dari sebuah pernikahan. Aku sangat-sangat merindukannya sebab meski kami telah menjalin hubungan yang manis namun belum pernah aku bertemu lagi dengannya, hanya suaranya yang bisa aku dengar lewat telepon di beberapa keheningan malam, juga hanya bisa melihat potret wajahnya yang tersimpan di galeri ponselku. 

Sejauh ini dia bagaikan puisi yang tak pernah usai aku baca, 
begitu indah dan menyebar banyak bahagia. 
meski semakin lama rindu yang tak tertampung menjadi benalu dan amarah yang konyol. 

Semakin hari rindu menumpuk, membebani pikiran saat-saat kita sama-sama di sibukkan dengan rutinitas pekerjaan, dan jam tidur yang tidak lagi sinkron. Tak bertemu dan jarang berkomunikasi; dari rindu-rindu yang sering mengusik sepi, cerita pun mulai mengurai banyak cemburu, kecurigaan yang tak menentu, dan keinginan yang tak berujung pada titik temu.

Dia yang selama ini ku kira 
Akan tetap menjadi puisi yang tak berujung,
Pun  akhirnya undur diri dengan kesedihan yang tak terbendung.

Akhirnya dari manisnya perjumpaan, dan beberapa kebahagiaan yang sempat terbagi, ternyata cerita tak sesuai rencana. Semua kesenangan itu kini hening, nama yang selalu muncul di notif whatsapp itupun perlahan menghilang, tak lagi saling berkabar, tak lagi saling bercerita apa adanya., tak lagi saling mengingatkan sholat dan tak ada yang minta di bangunkan di waktu subuh. 

Usai dan Usang
Ternyata akhirnya akan sama saja
Hilang, lalu pulang ke rumah masing-masing
Rumah yang sebelumnya ada "kita"
Rumah kita masing-masing
Rumahmu dan Rumahku, bukan lagi 
Rumah Kita

Puisi yang aku kira tak akan berujung dari sosok itu, ternyata usai jua padahal belum habis tintaku untuk menulis, namun kertas putih untuk menulis cerita itu telah lebih dulu habis di bakar cemburu dan kebodohan yang tak menentu, pilu.

Puisi itu pun ternyata selesai terbaca,
berakhir tanpa ada lagi tanda jeda.
Ia berujung pada kata
"Terimakasih" yang lirih, dan juga kata
"Maaf" yang sedikit terdengar ramah, 
namun bermakna;
"Menyerah" dan "Sudah".

#MozaikRhe

Posting Komentar untuk "Puisi Yang Usai di Baca"