Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Surakarta (Mozaik II pada tulisanku yang bertajuk Puan Lingga 2019)

Minggu pagi dalam perjalanan menuju Surakarta, pagi itu cuacanya cukup cerah, secerah senyummu yang selalu aku bawa ke mana pun aku singgah. Dalam laju kendaraan aku mendulang banyak kata di kepala. Kata-kata yang kemudian menjadi kalimat tunggal yang janggal. Entah kenapa begitu banyak ungkapan manis yang ingin aku tulis, seolah tiap deretan toko, pepohonan, trotoar jalan, dan segala hal yang terlewati di sepanjang jalan terlihat begitu puitis.   Detik waktu yang terus melaju, dari jendela ku lihat Candi Prambanan yang tampak ramai sekali pengunjung, rombongan siswa sekolah, keluarga kecil yang sederhana, mahasiswa, juga beberapa kulihat pasangan muda yang terlihat sangat bahagia seolah menunjukkan itulah hari mereka, bak Ratu dengan Raja dan seluruh area Candi adalah istananya. Rangkulan mesra dalam langkah demi langkah menapaki tanah istimewa. Ponsel di tangan sembari mengabadikan potret mereka berdua. Begitu menyenangkan ya saat dua orang anak manusia sedang jatuh cinta? Lama rasanya tak merasakan buai asmara seperti pasangan yang aku lihat tadi. Dua tahun sudah tanpa pernah lagi berani membuka hati sebab luka lama masih begitu kuat membayangi. Lara yang sulit terobati saat kehilangan sosok yang begitu amat di cintai. Perempuan-perempuan muda ada yang datang lalu pergi, ada yang datang menawarkan hati hingga ada yang menyerahkan diri, namun aku tak tahu apa yang terjadi seolah yang datang itu tak pernah memikat hati, hanya kesenangan di awal lalu setelahnya, setelah rasa penasaranku terhadap mereka terpenuhi aku mulai menjauh pergi. Aku benci sendiri; notif pesan yang kadang sepi, sapaan sayang di pagi hari yang tak ada lagi, dan tak ada teman yang bisa menjadi tempat aku menceritakan rutinitasku melewati hari, tapi di lain sisi aku juga enggan melabuhkan hati, takut nantinya akan sama saja, bertengkar lagi, saling mengingkari lalu saling membenci.  Nuansa megah tentang rindu yang indah masih aku simpan sendiri, berharap dapat singgah ke hati yang sungguh nantinya. Sekarang aku hanya berupaya menyembuhkan lukaku dengan segera, berbenah, mengatur langkah sebelum menemukan hati yang dapat aku titipkan perasaanku. Aku harap bisa menemukan perempuan yang tepat, tempat melabuhkan hati menetap abadi tanpa harus mencari-cari lagi.  Kepada waktu dan beberapa lampu merah yang membuat perjalananku sejenak terhenti, aku teringat lagi akan buku yang pertama aku tulis untukmu, ada banyak tanda tanya yang muncul di kepala, pertanyaan tentang bagaimana perasaanmu setelah tulisanku kau baca, bagaimanakah kita nanti setelahnya, dan apakah bahasaku dalam tulisan itu akan sampai kepadamu. Pertanyaan itu pun akhirnya mengganggu pikiranku sejauh perjalanan. Dalam kalutnya perasaan dengan banyaknya pertanyaan, aku berpikir lagi apa yang telah aku lakukan, rasanya memalukan sekali, menulis buku yang isinya terang-terangan mengungkapkan rasa ingin memiliki, seolah tak tahu diri bahwa siapalah aku ini. Seharusnya aku tak menulis itu, mungkin benar aku mengagumimu, ingin memilikimu tapi tidak seharusnya aku menulis seperti itu. Malu rasanya mengungkapkan suatu hal yang begitu besar yang ada dalam diriku, sementara kamu tak pernah menunjukkan rasa yang lebih kepadaku. Bahkan kenal saja belum lama tapi sudah berani menuliskan perasaanku kepadamu, belum juga tahu karaktermu lebih dalam tapi sudah berani mengungkapkan ingin memiliki, memang aku tak tahu diri, ya?  Kepada waktu yang ingin aku putar kembali, agar tulisanku itu bisa ku tarik kembali, tapi semua telah terjadi kau pun telah membaca isi buku itu. Akhirnya aku hanya bisa menyemangati diri sendiri, bahwa tulisanku itu bagus, maknanya mudah di mengerti, dan berpikir kau pasti akan jatuh hati, meski kenyataannya memalukan sekali. Pertanyaan dan pikiran tentang buku pertama itu akhirnya menambah berat beban pikirku, bagaimana kalau nanti setelah buku itu kau baca malah membuatmu menjauh, dan merasa aku terlalu mengada-ada dalam mengungkapkan perasaan. Itu sebabnya aku ingin sekali menulis buku kedua untukmu, sebagai ungkapan maaf telah mengungkapkan megahnya perasaan dan angkuhnya egoku untuk memilikimu, maafkan.  Oke, kita tinggalkan tentang  kalutnya pikiranku yang dibebani pertanyaan dan kegelisahan tentang buku pertamaku. Kambali ke Surakarta, pukul 8.29 malam aku sedang beristirahat di kamar hotel setelah mengitari kota solo itu. Lalu, ponsel membawaku kepadamu lagi. Ucapan selamat malam aku kirimkan lewat whatsapp, kamu membalas. Lalu, setelah sedikit berbasa-basi aku menanyakan tanggapanmu tentang bukuku, tapi kau bilang nanti, kau ingin membacanya sekali lagi.  Surakarta dan malam yang murung, otakku tegas bersorak; “Dia tidak tertarik dengan tulisanmu,  apa lagi dengan maksud di balik tulisan itu!”  Surakarta dan larut malam kala itu, aku habiskan dengan memandangi wajahmu yang terpapar di layar ponsel. Aku pandangi senyum itu, mata yang teduh itu, ternyata hatiku memang telah berpindah, ternyata hati sudah ingin kembali singgah. Singgah kepadamu meski kamu tertarik dengan perasaanku.   Surakarta dan mimpiku, akan aku tunggu kamu, meski khayalku telah menyerah untuk menyanjungmu, tetapi hatiku memaksa  “Aku harus menunggumu sampai nanti semesta membawamu kepadaku”.   Dari buku yang isinya memalukan kata khayalku tetapi dengan percaya diri hatiku meyakinkan bahwa nanti semua yang telah tertulis akan menjadi sebuah cerita yang begitu menyenangkan, bersabar saja, Meliarika hanya perlu sedikit waktu, jangan henti menunggu, tetap pinta dalam doa, yakinkan semesta untuk mengamini semuanya. Jangan hiraukan pikiran tentang perasaan ragu, yakin saja, kuatkan pijakan, nantinya semua akan berakhir, sepadan!   #MozaikRhe

Minggu pagi dalam perjalanan menuju Surakarta, pagi itu cuacanya cukup cerah, secerah senyummu yang selalu aku bawa ke mana pun aku singgah. Dalam laju kendaraan aku mendulang banyak kata di kepala. Kata-kata yang kemudian menjadi kalimat tunggal yang janggal. Entah kenapa begitu banyak ungkapan manis yang ingin aku tulis, seolah tiap deretan toko, pepohonan, trotoar jalan, dan segala hal yang terlewati di sepanjang jalan terlihat begitu puitis. 

Detik waktu yang terus melaju, dari jendela ku lihat Candi Prambanan yang tampak ramai sekali pengunjung, rombongan siswa sekolah, keluarga kecil yang sederhana, mahasiswa, juga beberapa kulihat pasangan muda yang terlihat sangat bahagia seolah menunjukkan itulah hari mereka, bak Ratu dengan Raja dan seluruh area Candi adalah istananya. Rangkulan mesra dalam langkah demi langkah menapaki tanah istimewa. Ponsel di tangan sembari mengabadikan potret mereka berdua. Begitu menyenangkan ya saat dua orang anak manusia sedang jatuh cinta? Lama rasanya tak merasakan buai asmara seperti pasangan yang aku lihat tadi. Dua tahun sudah tanpa pernah lagi berani membuka hati sebab luka lama masih begitu kuat membayangi. Lara yang sulit terobati saat kehilangan sosok yang begitu amat di cintai. Perempuan-perempuan muda ada yang datang lalu pergi, ada yang datang menawarkan hati hingga ada yang menyerahkan diri, namun aku tak tahu apa yang terjadi seolah yang datang itu tak pernah memikat hati, hanya kesenangan di awal lalu setelahnya, setelah rasa penasaranku terhadap mereka terpenuhi aku mulai menjauh pergi. Aku benci sendiri; notif pesan yang kadang sepi, sapaan sayang di pagi hari yang tak ada lagi, dan tak ada teman yang bisa menjadi tempat aku menceritakan rutinitasku melewati hari, tapi di lain sisi aku juga enggan melabuhkan hati, takut nantinya akan sama saja, bertengkar lagi, saling mengingkari lalu saling membenci.

Nuansa megah tentang rindu yang indah masih aku simpan sendiri, berharap dapat singgah ke hati yang sungguh nantinya. Sekarang aku hanya berupaya menyembuhkan lukaku dengan segera, berbenah, mengatur langkah sebelum menemukan hati yang dapat aku titipkan perasaanku. Aku harap bisa menemukan perempuan yang tepat, tempat melabuhkan hati menetap abadi tanpa harus mencari-cari lagi.

Kepada waktu dan beberapa lampu merah yang membuat perjalananku sejenak terhenti, aku teringat lagi akan buku yang pertama aku tulis untukmu, ada banyak tanda tanya yang muncul di kepala, pertanyaan tentang bagaimana perasaanmu setelah tulisanku kau baca, bagaimanakah kita nanti setelahnya, dan apakah bahasaku dalam tulisan itu akan sampai kepadamu. Pertanyaan itu pun akhirnya mengganggu pikiranku sejauh perjalanan. Dalam kalutnya perasaan dengan banyaknya pertanyaan, aku berpikir lagi apa yang telah aku lakukan, rasanya memalukan sekali, menulis buku yang isinya terang-terangan mengungkapkan rasa ingin memiliki, seolah tak tahu diri bahwa siapalah aku ini. Seharusnya aku tak menulis itu, mungkin benar aku mengagumimu, ingin memilikimu tapi tidak seharusnya aku menulis seperti itu. Malu rasanya mengungkapkan suatu hal yang begitu besar yang ada dalam diriku, sementara kamu tak pernah menunjukkan rasa yang lebih kepadaku. Bahkan kenal saja belum lama tapi sudah berani menuliskan perasaanku kepadamu, belum juga tahu karaktermu lebih dalam tapi sudah berani mengungkapkan ingin memiliki, memang aku tak tahu diri, ya?

Kepada waktu yang ingin aku putar kembali, agar tulisanku itu bisa ku tarik kembali, tapi semua telah terjadi kau pun telah membaca isi buku itu. Akhirnya aku hanya bisa menyemangati diri sendiri, bahwa tulisanku itu bagus, maknanya mudah di mengerti, dan berpikir kau pasti akan jatuh hati, meski kenyataannya memalukan sekali. Pertanyaan dan pikiran tentang buku pertama itu akhirnya menambah berat beban pikirku, bagaimana kalau nanti setelah buku itu kau baca malah membuatmu menjauh, dan merasa aku terlalu mengada-ada dalam mengungkapkan perasaan. Itu sebabnya aku ingin sekali menulis buku kedua untukmu, sebagai ungkapan maaf telah mengungkapkan megahnya perasaan dan angkuhnya egoku untuk memilikimu, maafkan.

Oke, kita tinggalkan tentang  kalutnya pikiranku yang dibebani pertanyaan dan kegelisahan tentang buku pertamaku. Kambali ke Surakarta, pukul 8.29 malam aku sedang beristirahat di kamar hotel setelah mengitari kota solo itu. Lalu, ponsel membawaku kepadamu lagi. Ucapan selamat malam aku kirimkan lewat whatsapp, kamu membalas. Lalu, setelah sedikit berbasa-basi aku menanyakan tanggapanmu tentang bukuku, tapi kau bilang nanti, kau ingin membacanya sekali lagi.

Surakarta dan malam yang murung, otakku tegas bersorak;
“Dia tidak tertarik dengan tulisanmu, 
apa lagi dengan maksud di balik tulisan itu!”

Surakarta dan larut malam kala itu, aku habiskan dengan memandangi wajahmu yang terpapar di layar ponsel. Aku pandangi senyum itu, mata yang teduh itu, ternyata hatiku memang telah berpindah, ternyata hati sudah ingin kembali singgah. Singgah kepadamu meski kamu tertarik dengan perasaanku.
 
Surakarta dan mimpiku, akan aku tunggu kamu, meski khayalku telah menyerah untuk menyanjungmu, tetapi hatiku memaksa 
“Aku harus menunggumu sampai nanti semesta membawamu kepadaku”. 

Dari buku yang isinya memalukan kata khayalku tetapi dengan percaya diri hatiku meyakinkan bahwa nanti semua yang telah tertulis akan menjadi sebuah cerita yang begitu menyenangkan, bersabar saja, Meliarika hanya perlu sedikit waktu, jangan henti menunggu, tetap pinta dalam doa, yakinkan semesta untuk mengamini semuanya. Jangan hiraukan pikiran tentang perasaan ragu, yakin saja, kuatkan pijakan, nantinya semua akan berakhir, sepadan! 

#MozaikRhe

Posting Komentar untuk "Surakarta (Mozaik II pada tulisanku yang bertajuk Puan Lingga 2019)"